DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam 3
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai 5
Kelayakan Terhadap Karyawan 6
Adanya Keadilan 7
BAB III PENUTUP 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Urusan dunia merupakan perkara yang paling banyak menyita perhatian umat manusia, sehingga mereka menjadi budak dunia, bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar Umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan mengurangi peluang mereka dalam mengais rizki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian aturan Islam terutama yang berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal haram.
Setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya melalui bekerja manusia akan berusaha memperoleh harta kekayaan. Karena tanpa berusaha manusia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan. Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik dan aturan, jauh dari sifat tamak dan serakah sehingga mampu membentuk sebuah usaha yang menjadi pondasi masyarakat madani dan beradab. Islam menganjurkan umatnya agar bekerja dan berniaga, menghindari meminta-minta dalam mencari harta kekayaan.
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam dipandang amat penting untuk dapat menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji.
Rumusan Masalah
Apa Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam?
Tujuan Penulisan Makalah
Untuk Mengetahui Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam
Arti surat Az Zumar ayat 34 yang berbunyi : “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik”. menggambarkan adanya balasan bagi orang-orang yang berbuat baik (Muhsinin).
Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al Misbah yang intinya: Kata muhsinin terambil dari kata ihsan. Rasul saw. menjelaskan makna ihsan sebagai “Menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”. Dengan demikian perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap anda.
Muhsin yang dimaksud Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al Mishbah manusia memiliki perilaku baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Dengan kata lain orang mendapatkan balasan dari Allah swt adalah orang yang senantiasa berperilaku positif di dunia maupun Akhirat.
Islam juga menekankan adanya kesimbangan antara duniawi dan ukhrawi dalam surat Al Jum'ah yang berbunyi. Allah berfirman dalam surat Al Jum’ah ayat 9 yang berbunyi:
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” .
Makna yang terkandung dalam surat tersebut adalah perintah adanya keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi. Kewajiban seseorang untuk meninggalkan jual beli merupakan perintah bagi umat untuk meninggalkan sejenak pekerjaan mereka dan kemudian melakukan perintah Allah yaitu shalat Jum’at. Titik tekan yang bisa diambil ada makna ayat tersebut adalah adanya keseimbangan dalam bekerja, yaitu mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini semakin memperjelas bahwa Islam mengenal dua dimensi dalam bekerja yaitu dunia dan akhirat.
Berkaitan dengan bentuk kerja dalam akad Ijarah yang mentransaksikan seorang pekerja atau buruh, maka harus terpenuhi beberapa persyaratan:
Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkanterakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. Demikian pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan pendapat mengenai ijarah terhadap pekerjaan seorang mu’adzin (juru adzan) imam, dan pengajar al Qur’an, memandikan jenazah. Menurut Fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah tidak sah. Alasan mereka perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.
Dengan penjelasan yang diatas, maka bisa digaris bawahi bahwa jenis obyek atau bentuk ijarah haruslah jelas. Baik dari jenis pekerjaan, tujuan dan waktu pengerjaannya. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi munculnya praktek kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh atau pekerja.
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam
Islam memandang upah tidak sebatas imbalan yang diberikan kepada pekerja, melainkan terdapat nilai-nilai moralitas yang merujuk pada konsep kemanusiaan. Transaksi ijarah diberlakukan bagi seorang ajir (pekerja) atas jasa yang mereka lakukan. Sementara upahnya ditakar berdasarkan jasanya dan besaran tanggung jawab. Takaran minimal yang diberikan kepada buruh juga harus mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, apa yang menjadi kebutuhan buruh merupakan tanggung jawab selaku pihak yang berada di atas buruh (majikan). Hal ini sesuai dengan hadits:
Artinya :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengantugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR.Muslim).
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa kebutuhan kaum buruh selayaknya menjadi tanggung jawab pengusaha. Ruang gerak buruh sangat dibatasi dengan kurangnya modal. Sehingga mereka mengabdikan diri kepada pengusaha untuk mendapatkan uang sebagai sarana mewujudkan kebutuhan. Pihak pengusaha berkewajiban untuk memberikan pemenuhan seluruh kebutuhan sesuai dengan standar biaya hidup sehari-hari. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep kemanusiaan yang sering dikesampingkan.
Dalam Islam penghargaan terhadap buruh sangat diutamakan. Ketika menentukan hak yang harus diterima pekerja, maka standar yang jadi patokan adalah seberapa besar tenaga yang diperlukan. Karena keseimbangan tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Penyampaian sesuatu yang menjadi hak kaum tenaga kerja juga harus lebih didahulukan dibanding yang lainnya.
Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam
Kelayakan mencakup di segala aspek, baik aspek individu atau personal sampai ke aspek keluarga. Selain itu, kelayakan juga melihat dari aspek norma-norma yang berlaku. Semisal kelayakan jenis pekerjaan dilihat dari aspek gender. Seringkali terjadi salah penempatan, dimana pekerjaan yang selayaknya dikerjakan oleh pekerja laki-laki, terpaksa dikerjakan oleh pekerja atau karyawan wanita. Kelayakan seorang karyawan dalam menerima jumlah upah, apakah sudah sesuai dengan standar kehidupan di lingkungannya atau belum juga menjadi persoalan tersendiri. Kesesuaian jumlah upah dengan standar hidup di lingkungan merupakan satu bagian yang harus terpenuhi, karena hal ini berkaitan dengan penghargaan kemanusiaan dan pemberlakuan kelayakan terhadap kaum buruh. Disamping itu kelayakan juga mencakup kondisi kesejahteraan karyawan yang meliputi tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Seperti yang disebutkan dalam hadits yang artinya : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR.Muslim).
Pemahaman hadits tersebut adalah himbauan bagi penyewa tenaga untuk memperlakukan pekerja seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Baik dari aspek kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Himbauan yang sifatnya menjadi sebuah keharusan tersebut, merupakan kontribusi nyata oleh Islam dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kelayakan dalam pembayaran upah terhadap pekerja.
Unsur kelayakan bisa dilihat melalui kesesuaian upah yang diberikan dengan UMR yang diterapkan oleh pemerintah. Dalam PP RI No 5 tahun 2003 tentang UMR dinyatakan dalam pasal (2) Pajak penghasilan yang terhutang atas penghasilan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ditanggung oleh Pemerintah (PP RI No 5 Tahun 2003 tentang UMR). Maksud dari PP di atas adalah upah yang disesuaikan dengan upah minimum suatu daerah. Bila mana upah yang sesungguhnya sepadan atau besarnya sama dengan upah minimum regional, maka pekerja tidak dikenakan pajak. Dan pajak ditanggung oleh pemerintah. Bunyi pasal ini merupakan kontribusi nyata dari pihak pemerintah dalam memperhatikan kelayakan gaji yang akan diterima kaum buruh.
Adanya Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam
Adil merupakan satu unsur yang sifatnya crusial dan sering menjadi pemicu konflik intern perusahaan. Sangat penting bagi kita menentukan keadilan ketika berbicara mengenai perbedaan upah buruh atau karyawan. Hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah kekeluargaan, kemitraan dan keduanya tercipta simbiosis mutualisme. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa didzalimi oleh pihak lainnya.Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta rasa saling menguntungkan. Dalam hal ini konsep keadilan menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi. Allah berfirman dalam surat Al Ahqaf:
Artinya:
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." (QS. Al-Ahqaf: 19).
Ayat di atas merupakan perintah bagi kita untuk senantiasa berbuat adil di dunia. Dengan perintah membagi ”derajat” menurut apa yang telah mereka kerjakan merupakan hal nyata bahwa Islam menekankan konsep adil dalam bermuamalat.
Satu contoh upaya perlakuan adil bisa kita lihat pada perusahaan Federal Express (Fed Ex). Langkah-langkah prosedur perlakuan adil terjamin FedEx terdiri dari tiga langkah. Dalam langkah pertama, tinjauan manajemen, si pengadu mengemukakan satu pengaduan tertulis kepada seorang anggota manajemen (manajer,manajer senior,atau managing director) dalam tujuh hari yang memenuhi syarat. Selanjutnya manajer, manajer senior dan managing director dari kelompok karyawan meninjau semua informasi yang relevan; melakukan suatu konperensi dan/atau pertemuan telepon dengan para pengadu; mengambil keputusan untuk menjunjung tinggi, memodifikasi, atau menjatuhkan tindakan manajemen; dan mengkomunikasikan keputusan mereka dalam menulis kepada pengeluh dan perwakilan personil departemen.
Contoh manajemen yang diterapkan pihak FedEx merupakan upaya meredam terjadinya ketidakadilan di lingkungan perusahaan. Dan juga satu sarana merealisasikan konsep keadilan dalam konteks hubungan karyawan dan pengusaha. Dengan mendengarkan keluhan karyawan, maka perusahaan bisa menerapkan policey yang mampu mengakomodir kebutuhan karyawan. Inti dari kesemuanya adalah terjaganya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehubungan dengan perwujudan pengalaman pancasila dalam HIP (Hubungan Industrial Pancasila), maka perlu mengupayakan adanya kondisi yang serasi seimbang dan selaras. Kondisi yang serasi antara pekerja dan pengusaha dapat dicapai apabila kedua belah pihak merasa cocok dan senang. Dengan begitu konsep keadilan juga menjadi prioritas utama dalam pengupahan yang sesuai syari’ah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Tujuan Kerja dalam konsep Islam adalah untuk menekankan adanya kesimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Adanya keseimbangan dalam bekerja, yaitu mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan bentuk kerja dalam konsep Islam bahwa jenis obyek atau bentuk ijarah haruslah jelas. Baik dari jenis pekerjaan, tujuan dan waktu pengerjaannya. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi munculnya praktek kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh atau pekerja.
Dalam Islam penghargaan terhadap buruh sangat diutamakan. Ketika menentukan hak yang harus diterima pekerja, maka standar yang jadi patokan adalah seberapa besar tenaga yang diperlukan. Karena keseimbangan tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kelayakan seorang karyawan dalam menerima jumlah upah, apakah sudah sesuai dengan standar kehidupan di lingkungannya atau belum juga menjadi persoalan tersendiri. Kesesuaian jumlah upah dengan standar hidup di lingkungan merupakan satu bagian yang harus terpenuhi, karena hal ini berkaitan dengan penghargaan kemanusiaan dan pemberlakuan kelayakan terhadap kaum buruh.
Sangat penting bagi kita menentukan keadilan ketika berbicara mengenai perbedaan upah buruh atau karyawan. Hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah kekeluargaan, kemitraan. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa didzalimi oleh pihak lainnya.Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta rasa saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dessler, Ary. 1997. Human Resource. Jakarta: Prenhallindo.
Nabhani, Aqyuddin An. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prespektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Pasaribu, Chairuman. 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sabiq, Sayyid. 1996. Terjemah Foqh Sunnah juz XIII. Bandung: PT Al Maarif.
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam 3
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai 5
Kelayakan Terhadap Karyawan 6
Adanya Keadilan 7
BAB III PENUTUP 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Urusan dunia merupakan perkara yang paling banyak menyita perhatian umat manusia, sehingga mereka menjadi budak dunia, bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar Umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan mengurangi peluang mereka dalam mengais rizki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian aturan Islam terutama yang berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal haram.
Setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya melalui bekerja manusia akan berusaha memperoleh harta kekayaan. Karena tanpa berusaha manusia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan keberkahan. Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik dan aturan, jauh dari sifat tamak dan serakah sehingga mampu membentuk sebuah usaha yang menjadi pondasi masyarakat madani dan beradab. Islam menganjurkan umatnya agar bekerja dan berniaga, menghindari meminta-minta dalam mencari harta kekayaan.
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam dipandang amat penting untuk dapat menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji.
Rumusan Masalah
Apa Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam?
Bagaimana Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam?
Tujuan Penulisan Makalah
Untuk Mengetahui Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam.
Untuk Mengetahui Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan Dan Bentuk Kerja Dalam Konsep Kerja Islam
Arti surat Az Zumar ayat 34 yang berbunyi : “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik”. menggambarkan adanya balasan bagi orang-orang yang berbuat baik (Muhsinin).
Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al Misbah yang intinya: Kata muhsinin terambil dari kata ihsan. Rasul saw. menjelaskan makna ihsan sebagai “Menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”. Dengan demikian perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap anda.
Muhsin yang dimaksud Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al Mishbah manusia memiliki perilaku baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Dengan kata lain orang mendapatkan balasan dari Allah swt adalah orang yang senantiasa berperilaku positif di dunia maupun Akhirat.
Islam juga menekankan adanya kesimbangan antara duniawi dan ukhrawi dalam surat Al Jum'ah yang berbunyi. Allah berfirman dalam surat Al Jum’ah ayat 9 yang berbunyi:
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” .
Makna yang terkandung dalam surat tersebut adalah perintah adanya keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi. Kewajiban seseorang untuk meninggalkan jual beli merupakan perintah bagi umat untuk meninggalkan sejenak pekerjaan mereka dan kemudian melakukan perintah Allah yaitu shalat Jum’at. Titik tekan yang bisa diambil ada makna ayat tersebut adalah adanya keseimbangan dalam bekerja, yaitu mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini semakin memperjelas bahwa Islam mengenal dua dimensi dalam bekerja yaitu dunia dan akhirat.
Berkaitan dengan bentuk kerja dalam akad Ijarah yang mentransaksikan seorang pekerja atau buruh, maka harus terpenuhi beberapa persyaratan:
Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkanterakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya.
Pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. Demikian pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan pendapat mengenai ijarah terhadap pekerjaan seorang mu’adzin (juru adzan) imam, dan pengajar al Qur’an, memandikan jenazah. Menurut Fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah tidak sah. Alasan mereka perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.
Dengan penjelasan yang diatas, maka bisa digaris bawahi bahwa jenis obyek atau bentuk ijarah haruslah jelas. Baik dari jenis pekerjaan, tujuan dan waktu pengerjaannya. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi munculnya praktek kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh atau pekerja.
Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Dalam Konsep Kerja Islam
Islam memandang upah tidak sebatas imbalan yang diberikan kepada pekerja, melainkan terdapat nilai-nilai moralitas yang merujuk pada konsep kemanusiaan. Transaksi ijarah diberlakukan bagi seorang ajir (pekerja) atas jasa yang mereka lakukan. Sementara upahnya ditakar berdasarkan jasanya dan besaran tanggung jawab. Takaran minimal yang diberikan kepada buruh juga harus mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, apa yang menjadi kebutuhan buruh merupakan tanggung jawab selaku pihak yang berada di atas buruh (majikan). Hal ini sesuai dengan hadits:
Artinya :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengantugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR.Muslim).
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa kebutuhan kaum buruh selayaknya menjadi tanggung jawab pengusaha. Ruang gerak buruh sangat dibatasi dengan kurangnya modal. Sehingga mereka mengabdikan diri kepada pengusaha untuk mendapatkan uang sebagai sarana mewujudkan kebutuhan. Pihak pengusaha berkewajiban untuk memberikan pemenuhan seluruh kebutuhan sesuai dengan standar biaya hidup sehari-hari. Hal ini sangat berkaitan dengan konsep kemanusiaan yang sering dikesampingkan.
Dalam Islam penghargaan terhadap buruh sangat diutamakan. Ketika menentukan hak yang harus diterima pekerja, maka standar yang jadi patokan adalah seberapa besar tenaga yang diperlukan. Karena keseimbangan tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Penyampaian sesuatu yang menjadi hak kaum tenaga kerja juga harus lebih didahulukan dibanding yang lainnya.
Kelayakan Terhadap Karyawan Dalam Konsep Kerja Islam
Kelayakan mencakup di segala aspek, baik aspek individu atau personal sampai ke aspek keluarga. Selain itu, kelayakan juga melihat dari aspek norma-norma yang berlaku. Semisal kelayakan jenis pekerjaan dilihat dari aspek gender. Seringkali terjadi salah penempatan, dimana pekerjaan yang selayaknya dikerjakan oleh pekerja laki-laki, terpaksa dikerjakan oleh pekerja atau karyawan wanita. Kelayakan seorang karyawan dalam menerima jumlah upah, apakah sudah sesuai dengan standar kehidupan di lingkungannya atau belum juga menjadi persoalan tersendiri. Kesesuaian jumlah upah dengan standar hidup di lingkungan merupakan satu bagian yang harus terpenuhi, karena hal ini berkaitan dengan penghargaan kemanusiaan dan pemberlakuan kelayakan terhadap kaum buruh. Disamping itu kelayakan juga mencakup kondisi kesejahteraan karyawan yang meliputi tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Seperti yang disebutkan dalam hadits yang artinya : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR.Muslim).
Pemahaman hadits tersebut adalah himbauan bagi penyewa tenaga untuk memperlakukan pekerja seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Baik dari aspek kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Himbauan yang sifatnya menjadi sebuah keharusan tersebut, merupakan kontribusi nyata oleh Islam dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kelayakan dalam pembayaran upah terhadap pekerja.
Unsur kelayakan bisa dilihat melalui kesesuaian upah yang diberikan dengan UMR yang diterapkan oleh pemerintah. Dalam PP RI No 5 tahun 2003 tentang UMR dinyatakan dalam pasal (2) Pajak penghasilan yang terhutang atas penghasilan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ditanggung oleh Pemerintah (PP RI No 5 Tahun 2003 tentang UMR). Maksud dari PP di atas adalah upah yang disesuaikan dengan upah minimum suatu daerah. Bila mana upah yang sesungguhnya sepadan atau besarnya sama dengan upah minimum regional, maka pekerja tidak dikenakan pajak. Dan pajak ditanggung oleh pemerintah. Bunyi pasal ini merupakan kontribusi nyata dari pihak pemerintah dalam memperhatikan kelayakan gaji yang akan diterima kaum buruh.
Adanya Keadilan Dalam Konsep Kerja Islam
Adil merupakan satu unsur yang sifatnya crusial dan sering menjadi pemicu konflik intern perusahaan. Sangat penting bagi kita menentukan keadilan ketika berbicara mengenai perbedaan upah buruh atau karyawan. Hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah kekeluargaan, kemitraan dan keduanya tercipta simbiosis mutualisme. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa didzalimi oleh pihak lainnya.Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta rasa saling menguntungkan. Dalam hal ini konsep keadilan menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi. Allah berfirman dalam surat Al Ahqaf:
Artinya:
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." (QS. Al-Ahqaf: 19).
Ayat di atas merupakan perintah bagi kita untuk senantiasa berbuat adil di dunia. Dengan perintah membagi ”derajat” menurut apa yang telah mereka kerjakan merupakan hal nyata bahwa Islam menekankan konsep adil dalam bermuamalat.
Satu contoh upaya perlakuan adil bisa kita lihat pada perusahaan Federal Express (Fed Ex). Langkah-langkah prosedur perlakuan adil terjamin FedEx terdiri dari tiga langkah. Dalam langkah pertama, tinjauan manajemen, si pengadu mengemukakan satu pengaduan tertulis kepada seorang anggota manajemen (manajer,manajer senior,atau managing director) dalam tujuh hari yang memenuhi syarat. Selanjutnya manajer, manajer senior dan managing director dari kelompok karyawan meninjau semua informasi yang relevan; melakukan suatu konperensi dan/atau pertemuan telepon dengan para pengadu; mengambil keputusan untuk menjunjung tinggi, memodifikasi, atau menjatuhkan tindakan manajemen; dan mengkomunikasikan keputusan mereka dalam menulis kepada pengeluh dan perwakilan personil departemen.
Contoh manajemen yang diterapkan pihak FedEx merupakan upaya meredam terjadinya ketidakadilan di lingkungan perusahaan. Dan juga satu sarana merealisasikan konsep keadilan dalam konteks hubungan karyawan dan pengusaha. Dengan mendengarkan keluhan karyawan, maka perusahaan bisa menerapkan policey yang mampu mengakomodir kebutuhan karyawan. Inti dari kesemuanya adalah terjaganya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehubungan dengan perwujudan pengalaman pancasila dalam HIP (Hubungan Industrial Pancasila), maka perlu mengupayakan adanya kondisi yang serasi seimbang dan selaras. Kondisi yang serasi antara pekerja dan pengusaha dapat dicapai apabila kedua belah pihak merasa cocok dan senang. Dengan begitu konsep keadilan juga menjadi prioritas utama dalam pengupahan yang sesuai syari’ah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Tujuan Kerja dalam konsep Islam adalah untuk menekankan adanya kesimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Adanya keseimbangan dalam bekerja, yaitu mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan bentuk kerja dalam konsep Islam bahwa jenis obyek atau bentuk ijarah haruslah jelas. Baik dari jenis pekerjaan, tujuan dan waktu pengerjaannya. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi munculnya praktek kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh atau pekerja.
Dalam Islam penghargaan terhadap buruh sangat diutamakan. Ketika menentukan hak yang harus diterima pekerja, maka standar yang jadi patokan adalah seberapa besar tenaga yang diperlukan. Karena keseimbangan tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kelayakan seorang karyawan dalam menerima jumlah upah, apakah sudah sesuai dengan standar kehidupan di lingkungannya atau belum juga menjadi persoalan tersendiri. Kesesuaian jumlah upah dengan standar hidup di lingkungan merupakan satu bagian yang harus terpenuhi, karena hal ini berkaitan dengan penghargaan kemanusiaan dan pemberlakuan kelayakan terhadap kaum buruh.
Sangat penting bagi kita menentukan keadilan ketika berbicara mengenai perbedaan upah buruh atau karyawan. Hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah kekeluargaan, kemitraan. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa didzalimi oleh pihak lainnya.Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta rasa saling menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dessler, Ary. 1997. Human Resource. Jakarta: Prenhallindo.
Nabhani, Aqyuddin An. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prespektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Pasaribu, Chairuman. 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sabiq, Sayyid. 1996. Terjemah Foqh Sunnah juz XIII. Bandung: PT Al Maarif.
Comments
Post a Comment